Rabu, 02 Mei 2012

Sumbangan Aksi Mahasiswa Indonesia Terhadap Bangsa dan Negara

Salah satu aksi mahasiswa yang bakal selalu di ingat adalah peristiwa MALARI, apa itu malari? Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara. Itu memperlihatkan, suasana Kota Jakarta masih mencekam.

Peristiwa Malari dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ada yang memandangnya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang. Bangsa indonesia sering di beri pinjaman oleh asing untuk menjalankan negara namun dengan bunga yang cukup besar dan membuat negara kita berhutang sangat banyak kepada negara asing dan yang saya dengar hutang negara kita sudah mencapai ribuan triliun. Itulah salah satu aksi mahasiswa Indonesia terhadap negara dan bangsa Indonesia yang tidak mau negaranya terus “dijajah” oleh modal asing yang mengakibatkan negara kita berhutang yang tidak sedikit. Aksi Malari itu terjadi pada era rezim Soeharto.

Bagaimana dengan masa kini? Banyak juga aksi mahasiswa yang terjadi pada masa kini namun tidak sebrutal pada masa itu. Pada akhir maret lalu kita di suguhkan dengan aksi para mahasiswa yang katanya terpelajar justru seperti tidak terpelajar ketika menolak kenaikan harga bahan bakar minyak dengan melakukan aksi pengerusakan. Memang saya akui jika mahasiswa hanya bertindak sekedar melakukan aksi unjuk rasa belum tentu di dengar oleh pemerintahan, namun tidak juga dengan cara kerusuhan agar di dengar oleh pemerintah. Mengapa kita para mahasiswa selalu berdemo untuk meenolak rencana pemerintah tersebut? Apakah tidak ada aksi lain yang membuat nama mahasiswa “harum” dengan prestasi dan bukannya di dengar karena aksi kerusuhannya? Inilah negara kita menurut saya aksi yang cukup keras baru di dengar oleh pemerintahan daripada hanya sekedar belajar dan berbicara keras-keras di tempat umum.

Saat tulisan ini di buat sedang hangat-hangatnya berita tentang kunjungan delegasi Komisi I DPR-RI kita melakukan kunjungan kerja atau apalah namanya itu ke jerman. Saat ada acara temu masyarakat Indonesia yang ada di Jerman juga hadir anggota dari PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) yang ada di Jerman. Dalam aksi ini PPI mempertanyakan kelakuan anggota dewan yang dinilai mereka kampungan dan kekanak-kanakan.Dalam aksi ini juga mahasiswa yang ada di Jerman menuntut transparansi tentang kunjungan kerja anggota Komisi I DPR-RI itu.

Meskipun sumbangan aksi para mahasiswa ada yang terlihat tidak mengenakan sudah pasti aksi ini memberi sumbangan terhadap bangsa dan negara kita. Hidup mahasiswa!

Pandangan Terhadap Polemik Pasal 7 ayat 6 dan ayat (6a)

Akhir maret lalu negara kita sedang hangat-hangatnya dengan isu kenaikan harga bahan bakar minyak. Tak dapat di hindari isu ini merupakan isu yang sangat cepat berkembang di negara kita, karena BBM merupakan salah satu kebutuhan pokok warga negara Indonesia. Meskipun di bilang negara kita kaya akan minyak, apa yang terjadi? Negara kita ternyata masih mengimpor bahan bakar minyak dari luar negeri. Sangat ironis memang, negeri yang katanya kaya akan minyak justru mengimpor dari luar negeri. Ketika harga minyak dunia harganya melambung tinggi justru negara penjual yang di untungkan dengan hal ini, sedangkan negara kita yang mengimpor agaknya agak kelabakan untuk menutupi subsidi BBM untuk rakyatnya. Katanya APBN kita jebol dan tidak cukup untuk mensubsidi harga BBM bersubsidi itu. Nah dari sinilah para wakil rakyat kita mengadakan sidang paripurna untuk membahas rencana kenaikan harga BBM bersubsidid itu. Dalam sidang paripurna itu terdapat dua opsi pasal tentang kenaikan harga BBM bersubsidi itu pasal tersebut berbunyi:
  • Pasal 7 ayat 6 yang isinya menyebutkan bahwa harga jual BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan.
  • Pasal 7 ayat (6a) UU APBNP mengatur, dalam hal harga rata-rata minyak Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15 persen dalam enam bulan terakhir dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN-P Tahun Anggaran 2012, maka pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya.

Memang pada pasal 7 ayat 6 di sebutkan “harga jual BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan” disini saya cukup senang dengan pasal ini karena sebagai seorang pelajar ketika BBM bersubsidi tidak di naikan itu merupakan kabar yang menggembirakan mungkin bukan hanya pelajar namun seluruh warga negara yang lain juga senang dengan hal tersebut. Namun disini dalam pandangan saya jika harga BBM bersubsidi tidak di naikkan, APBN negara bisa jebol dan juga justru kalangan yang mampu yang notabene bukan sebagai pengguna yang di tujukan untuk memakai BBM bersubsidi juga menikmati harga BBM bersubsidi ini.

Di lain sisi pasal 7 ayat (6a) yang menyebutkan “jika harga ICP mangalami kenaikan atau penurunan 15 persen dari yang di asumsikan APBN-P maka pemerintah berwenang melakukan penyesuaian BBM bersubsidi”. Pasal ini menurut pandangan saya juga ada benarnya karena apakah kita mau APBN negara kita jebol dan kemungkinan kita akan berhutang lagi untuk menutupi APBN-P kita? Tentu kita tidak mau karena sudah banyaknya hutang di negara kita. Namun pasal ini cukup Inskonstitusionalitas karena seperti di kutip dari http://www.tribunnews.com/2012/04/05/polemik-naik-atau-tidaknya-harga-bbm-belum-usaipasal 7 ayat (6 A) terjadi karena hal ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2004 atas judicial review UU No. 22 tahun 2001. Putusan MK yang mengabulkan larangan penentuan harga minyak dan gas bumi berdasarkan mekanisme pasar masih berlaku hingga kini, sehingga kondisionalitas pasal 7 ayat (6 A) tersebut bertentangan dengan putusan MK tersebut.

Itulah pandangan saya sebagai warga negara yang awam terhadap pasal 7 ayat 6 dan pasal 7 ayat (6a). Apabila ada kesalahan dalam pandangan saya harap di maklumi karena saya hanyalah orang awam yang mencoba berpandangan mengenai pasal tersebut.